Al Khoiriyah

Jam'iyyatut Tahlili Wat Ta'limi - Duduksampeyan, Gresik

HAKEKAT DAN MAKNA TAWASSUL

HAKEKAT DAN MAKNA TAWASSUL
Oleh: ACH. SUYITNO, M.Ag

Sudahkah kita bersabar…? Sudahkah kita sholat sebagai penolong kita……? Pertanyaan inilah yang mengantarkan kita pada pemahaman tawassul. Mari kita lihat Dasar didalam QS. Al-Baqoroh; 45.

واستعينوا بالصبر و الصلواة, وانها لكبيرة الا على الخاشعين. (البقرة: 45).

Artinya;
“Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. (Qs. Al-Baqoroh: 45).

Coba kita lihat lagi dalam QS. Al-Maidah; 35: 

....وابتغوا اليه الوسيلة (الما ئدة: 35).

Artinya: “..Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (Allah). (Qs. Al-Maidah: 35).

Namun demikian kadang kala kita belum tahu apa sesungguhnya makna “Jalan” - Tawassul?...
Para ulama; Al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subhki (683-756 H/1240-1355 M, adalah pakar Fiqh, bahasa dan tafsir) menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighotsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan kahekat yang sama. Beliau mendefinisikan sebagai berikut;

طلب حصول منفعة اواندفاع مضرة من الله بذكر اسم نبي او ولى اكراما للمتوسل به. (الحافظ العبدرى, اسرحالقويم, صظ(378

Bermakna: “ Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”. (Al-Hafidz al-‘Abdari, al-Syarh al-Qowim, hal: 378).

Sudahkah kita memahami demikian….?
Jawabya sebuah keharusan pemaknaan Tawasul demikian, TIDAK yang lain. Sebab dikalangan sebagian orang ada yang memaknai tawassul dengan pembiasan makna; yakni;
“Adalah memohon kepada seorang nabi atau wali untuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya dengan keyakinan bahwa nabi atau wali itulah yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya secara hakiki”

…Persepsi makna tawassul yang keliru seperti inilah yang harus di buang jauh…..!
Banyak contoh-contoh tentang TAWASSUL;
Allah SWT telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini terjadi berdasarkan hukum kausalitas (sebab akhibat) bahwa Alloh SWT sesungguhnya Maha Kuasa untuk mememberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun, namun kenyataannya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. (lihat Qs. Al-baqoroh diatas).

Bahwa ayat diatas, memerintahkan untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. artinya carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah akan mewujudkan akhibatnya. Allah SWT telah menjadikan TAWASSUL dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba. Padahal Allah maha Kuasa untuk mewujudkan akhibat tanpa sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan ber-TAWASSUL dengan para nabi dan wali baik semasa hidup maupun sudah wafat dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah SWT. 

Sebagaimana pula saat orang sakit pergi kedokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah, meskipun keyakinannya bahwa pencipta kesembuhan Adalah Allah. Sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat sebab ‘aadi (sebab-sebab alamiah), maka TAWASSUL adalah sebab syar’I (sebab-sebab yang diperkenankan syara’). 

Seandainya TAWASSUL bukan sebab syar’I, maka Rasulollah SAW tidak akan mengajarkan orang buta (yang datang kepadanya) agar ber-TAWASSUL dengannya dan disembuhkan oleh Allah meskipun dilain tempat sembuhnya (sembuhnya tidak dimajelis Rosul saat itu). Dalam hadits shahih, Rasulollah SAW mengajarkan kepada orang buta untuk berdo’a dengan mengucapkan;

اللهم اني اساءلك واتوجه اليك بنبينا محمد نبي الحمة, يا محمد اني اتوجه بك الى ربي في حاجتي لتقضى لي.

“Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do’a kepada-Mu dengan nabi kami Muhammad, nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan”.

Hadits diatas diterapkan sahabat pada zaman Kholifah Utsman ibn Affan dan sampai sekarang dipake dasar dan mengamalkan isinya pula oleh ulama’-ulama’ Islam dan ditulis oleh ahli-ahli hadits dalam karya-karyanya, seperti; al-Imam ahmad, al-Turmudzi dan menilainya hadits hasan shahih, ..al-Nasa’I dalam amal al-yaum wa al-lailah, ibn Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibn Majjah, al-thabarani dalam al-Mu’jam al-kabir, al-Mu’jam al-shaghir dan al-Du’a dan menilainya Shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak dan menilainya Shahih serta di akui oleh al-Hafidz al-Dzahabi, al-Hafidz al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah dan al-da’awat al-Kabir dan ulama-ulama’ lain. Dari kalangan ahli hadits muta’akhirin, hadits diatas disebutkan oleh Imam Nawawi, al-hafidz ibn al-Jazari, al-Syaukani dan lain-lain.

Hadits diatas sekali lagi adalah dalil diperbolehkannya ber-TAWASSUL dengan nabi Muhammad Saw pada saat nabi masih hidup, dibelakangnya (tidak dihadapannya). Hadits ini juga diperbolehkannya ber-TAWASSUL setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits yaitu sahabat Utsman bin Hunaif kepada tamu sayyidina Utsman. Dan perlu dingat bahwa hadits ini tidak ada yang me-nasakh-nya. (Dikutip dari Kitab: Tim Bahtsul Masa’il PC. NU Jember, “Membongkar kebohongan Buku-mantan Kyai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik-H. Mahrus Ali”, PT. Khalista, Surabaya, 2008, Hal: 04)

Labels

Pengikut


counter
Powered By Blogger