Al Khoiriyah

Jam'iyyatut Tahlili Wat Ta'limi - Duduksampeyan, Gresik

Kesufian Syech Abdul Qadir Al Jaelani

Oleh: Ach. Suyitno, S.Ag.
A.    Riwayat Hidup.
Sosok Ulama agung sufi besar yang alim dan zahid (qutubul aqtab) lahir di Gilan Iran, pada tanggal (01 Ramadlon 471 H - w.11 Robiul stani 561 H.) dalam usia yang ke 91 tahun., termasuk lingkungan keluarga sufi. Ayahnya bermana Abu Sholeh ibn Abdullah yang sambung dengan Hasan ibn Ali Ibn Abi Thalib (Kemenakan nabi Muhammad SAW. dan diambil menantu, di nikahkan dengan fatimah az-zahra ibn Muhammad Saw.) dan Ibunya bernama Fatimah binti Sayyid Abdullah As-Sumu’I al Husaini. Dari pernikahan ini beliau mempunyai keturunan (anak) yang bernama Abdul Wahab (1157 – 1186 M), Abdus Salam (w. 1213 M) dan Abdul Razzaq (1134 – 1206 M) seorang yang sangat zuhud dan shaleh. (Prof. Dr. Abu Bakar Atjeh, 1993, hal; 312).

Sejak dalam kandungan kekeramatan dengan tanda-tanda keistimewaan telah dirasakan ibunya, sebagaimana yang di ceritakan Imam Sarbuni dalam kitabnya thabaqot bahwa Abdul Qadir Jaelani masa kecilnya pada bulan Sya’ban dan ramadlon tidak mau menyusu ibunya pada siang hari, pada saat ibunya mengaji merasa dikelilingi malaikat yang menjaga anaknya. Di kota Jailan (Gilan-Iran) pada umur 10 -18 tahun,  beliau diperintahkan untuk mengaji dan menghafal beliau sangat cerdas. Beliau gemar belajar dan beramal tidak berkeputusan, ia jujur dan sangat mencintai Ayah dan ibunya.
Pada umur  18 Th ke atas beliau memohon dan direstuinya ibunya untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kerohaniannya di Baghdad (pusat ilmu pengetahuan ), Beliau berguru pada guru besar Abu Zakariyah Tabrezi  (Rektor Jami’ah Nidzamiyah) selama 8 tahun dengan banyak melakukan tarekat, menjalani cobaan lapar tetapi ia tidak mau meminta-minta, setelah lulus ia mendapat latihan spiritual kehidupan rohaninyang ketat dengan melewatkan hidup dengan bermeditasi mencari hakikat kebenaran dan taqarrub kepada Allah. (KH. Jamil Ahmad, 1984).
Disamping itu juga berguru pada Syaikh Abu Said Mahzumi. Syaikh  Hammadu ad-Dibasi, Lautan “Nubuwah” nabi Muhammad dan lautan “Futuwah” Ali ibn Abi Thalib. Dalam perjalanan yang jauh beliau diberi bekal 40 dinar yang di jahit di balik bajunya dengan satu pesan jangan pernah berkata bohong pada siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun juga, lalu beliau bergabung dengan kafilah berangkat menuju Baghdad. Dalam manaqib Syaikh Abdul Qadir Jaelani di ceritakan;
“Setelah memasuki Baghdad kafilah dirampok, aniaya tetapi tidak pada Abdul Qadir jaelani yang disangkanya tidak punya apa-apa, namun ada seorang perampok yang mendatanginya dan menanyakan “Apa yang kau punyai? Jawab beliau saya punya 40 dinar, lalu pimpinan perampok tersebut bertemu dan meminta untuk membedah jahitan bajunya ternyata benar keluarlah uang tersebut. Kenapa engkau menunjukkan uangmu? Jawab beliau, Aku telah berjanji pada ibu untuk berkata jujur pada siapa dan dalam keadaan bagaimanapun. Perampok menangis dan sadar berjabat tangan, taubat tidak berlaku hina dan jahat, kemudian semua barang rampasan dikembalikan. Kafilah dengan selamat tiba di Baghdad.”
Abdul Qadir Jaelani menetap di Baghdad, memanfaatkan hidupnya untuk perjuangan Islam dan kemanusiaan, beliau memiliki lidah yang fasih, lancar dalam orator, ceramahnya banyak yang mendatanginya bahkan dalam sehari + 70-80 ribu orang yang hadir juga hadir Khalifah Abasiyah dan pemuka tingginya yang banyak menganut faham mu’tazilah.
Pada masa khalifah Abasiyah (yang menganut faham rasionalisme Mu’tazilah) saat berkuasa penuh zaman Ma’mun dan Mu’tazim banyak melakukan kehidupan yang mewah dan foya-foya. Akhibat pengaruh faham yang ada, para ulama sufi banyak tidak mendapat kesempatan untuk melakukan aktifitas kesufiannya karena kegiatan sufi dirasa banyak menghambat perkembangan negara dan terjadi pertentangan dengan ulama syariat. Pada saat kelabu inilah Sayikh Abdul Qadir Jaelani hadir dengan ajaran thariqot yang merupakan keseimbangan antara syariat dan tasawuf dengan meluruskan orang-orang muslim yang menyimpang dalam ‘bentuk” maupun” semangat spiritual Islam”. (KH. Jamil Ahmad, 1984).
B.     Thariqoh-nya.
Nama thariqoh yang didirikan Syaikh Abdul Qadir Jaelani (al-Jilli) adalah thariqoh Qadiriyah. Beliau mula pertama ahli fiqh dalam madzhab Imam Hambali, kemudian meningkat pada tataran dunia spiritual sufistik. Ajarannya mengambil jalan tengah antara spritualisme Mansur al-Hallaj dan rasionalisme Mu’tazilah yaitu sinergisitas yang harmonis antara syariat dan tasauf. Thariqoh Qadiriyah dalam kitab Encyclopaedia of Islam (H.A.R Gibb); mempunyai tempat untuk melakukan suluk dan latihan-latihan amalan sufi dan pula diceritakan Suhrawardi  dalam kitab “Awarif al-Ma’arif” bahwa tiap murid yang menamatkan ajarannya sudah beroleh ijazah khirqoh, berjanji untuk meneruskan dan menyiarkan ajarannya. Bagi Syaikh Abdul Qadir Jaelani yang terpenting adalah pembentukan jiwa dan budi pekerti luhur sufi yakni keseimbangan antara syariat dan tasawuf dalam ajarannya yang dilandasi tauhid yang kuat.

C.    Syiar Thariqoh
Dalam masa hidup Syaikh Abdul Qadir jaelani ajarannya sudah banyak yang mensyiarkan dan menyempurnakan ajarannya. Seperti; Ali Bin al_haddad yang terkenal di Yaman, Muhammad Batho’ bertempat tinggal di Balbeek yang mengembangkannya juga di Syiria, Taqiyuddin Muhammad al-Yunani (terkenal penyair tariqat Qadiriyah) di Balbeek, sedang Muhammad bin Abdus Shomad di Mesir yang terkenal keramat dalam menuntun manusia menempuh jalan menuju Allah Swt. Begitu pula anak-anak beliau juga menyiarkan ajarannya di Maroko, Mesir, tanah Arab, Turkestan dan India serta ke Fess Spanyol. Begitu pula yang dilakukan oleh Ismail Rumi di Asia kecil dan Istambul, mendirikan tempat khalwat dan 40 takiyah yaitu tempat mengumpulkan dan memberi makan fakir miskin. Selain itu juga ada Ribbath Qadiriyah di atas bukit Qubis Mekkah dan di puncak Jabal Qubis tersebut terdapat masjid Syaikh Abdul Qadir jaelani. sebagai pusat thariqat untuk berkhalwat yang didatangi manusia seluruh pelosok dunia. Penyebaran thariqat Qadiriyah juga terjadi diAfrika Tengah dan selatan sangat cepat misalnya di Guines, Kounta dan Tembaktu.
D.    Karyanya.
Thariqat Qadiriyah mempunyai zikir-zikir, Wirid-wirid dan hizib-hizib tertentu. Wirid-wirid yang penuh kecintaan terhadap Allah Swt ini terdapat dalam karya Syaikh Abdul Qadir Jaelani dalam kitab “al-Fuyadat al-Rabbaniyah”, juga dalam kitab “Futuh al-Ghaib” yang banyak mengupas tentang aliran mistik, kitab “Ghinyat al- talibin” yang secara komprehensif membahas prinsip syariat dan tasauf .
Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jaelani, menurut pengarangnya (tidak mau disebutkan namanya karena takut ria / takabur) mengarang disamping karena ucapan Syaih Adawi al-Hamazawi bahwa menyebut dan mengingat Syaikh Abdul Qadir Jaelani menyebabkan turun rahmat Tuhan kepadanya, juga karena keshalehannya sebagai ulama sufi pemurni Islam. Sehingga khususnya di Indonesia terjadi kegemaran membaca manaqib dan umumnya di negera-negera Islam.
Isi manaqib sebagian besar bercerita tentang riwayat hidup Syaikh Abdul Qadir Jaelani, termasuk budi pekerti yang luhur, keshalehannya, kezuhudannya dan kekeramatan atau keanehan-keanehan, keistimewaan yang terjadi pada beliau. Misalnya mengenai keselamatanharta bAbdul Musaffar 700 dinar melalui Abdul Qodir Jaelani dapat diselamatkan dari perampokan, Beliau kedatangan cahaya di dadanya yang kilau kemilau ternyata setan ingin mengelabuhi dengan mengaku Aku Tuhanmu, jawaban beliau “kamu setan” beliau usir dan setan mengakui kelemahannya sambil berkata; “sudah 70 orang ahli tarikat kusesatkan, tetapi engkau tidak dapat kuperdaya”,  dan keistemewaan lain-lainnya. SehinggaIzzuddin bin Abdus Salam mengakui tidak ada walipun yang dapat mengatasi kedudukan Syaikh Abdul Qadir Jaelani.
Bahkan Syaikh Ahmad al-Kamsya khanuwi dalam kitabnya “Jami’ul Usul fil Aulia” (Mesir, 1331 H.), mengatakan bahwa ahli-ahli hakekat menetapkan makam Abdul Qadir Jaelani lebih tinggi  dari pada Sadzili. Namun dalam hal ajaran pokok dasar tarekatnya sama banyaknya dengan Sadzili. Ada lima buah pokok tarekat Syadzili;  Taqwa kepada Allah lahir bathin, Mrngikuti Sunnah nabi Muhammad baik dalam perkatan dan perbuatan, menjauhan diri dari mahluk didepan dan dibelakang, rela menahan pemberiannya yang sedikit atau banyak, kembali kepada Allah dalam waktu susah  dan senang. (Prof. Dr. Abu Bakar Atjeh, 1993, hal: 309-318).

Daftar Pustaka:
1.                           KH. Jamil Ahmad, “Hundred Greet Moeslims”, Cet. III, Ferozsongs, Ltd. Lahore, Pakistan. Th. 1984
2.                           Prof. Dr. H. Abu bakar Aceh, “Pengantar Ilmu tarekat, kajian Historis tentang Mistik”, Cet. IX, Pt. Ramadhani, Solo, 1993,

0 komentar:

Posting Komentar


Labels

Pengikut


counter
Powered By Blogger